Senin, 23 Februari 2009

GOLPUT, Haramkah ?

Sepertinya pertanyaan di atas perlu kita kaji lebih lanjut. Fenomena golput merupakan hal yang wajar di alam demokrasi. Semua warga negara Indonesia mempunyai hak untuk dipilih, memilih, dan tidak memilih. Dan itu dijamin secara hukum oleh Undang-Undang negara kita. Ketika ada fatwa yang mengharamkan Golput dan mengharuskan masyarakat untuk memilih, jelas hal itu bertentangan dengan undang-undang negara kita. Memang sebuah fatwa berada di luar dari hirarki hukum yang ada di Indonesia. Fatwa sifatnya tidak mengikat bagi setiap warga negara Indonesia sebab Indonesia bukan negara yang berlandaskan pada ajaran Islam. Namun demikian, fatwa tersebut merupakan produk hukum Islam, dan ketika fatwa tersebut telah bicara ‘haram’ maka secara otomatis melahirkan sebuah konsekuensi larangan bagi setiap umat muslim di Indonesia untuk melakukan hal tersebut dan melahirkan konsekuensi lain yaitu sebuah kewajiban untuk menghindarinya. Logikanya, ketika kita melakukan yang haram dan melanggar yang wajib maka sanksinya adalah sebuah DOSA. Masuk akalkah jika kita tidak menggunakan hak suara kita akan berdosa dan mungkin masuk neraka.
Fatwa merupakan produk hukum yang berasal dari Ijma dan Qiyas dari kalangan ulama di Indonesia. Walaupun dalam Islam ulama merupakan penerus nabi dan imam kita namun bukan berarti keputusan yang diambilnya merupakan sesuatu yang bersifat final. Bahkan dikalangan ulama di Indonesia ini sendiri hal ini masih diperdebatkan. Dalam Islam memang kita diharuskan untuk mempunyai Pemimpin/ Imam. Bahkan ketika Rasulullah meninggal, jenazahnya sampai harus ditunda dikubur selama 3 hari menunggu terpilihnya pemimpin baru yang dapat menggantikan Rasulullah. Karena keharusan tersebutlah, maka proses untuk memilih Pemimpin tersebut pun menjadi wajib untuk diikuti. Hal itulah yang dijadikan dasar dari Fatwa ini agar warga negara Indonesia khususnya umat Islam untuk mempergunakan hak suaranya dan menghindari Golput. Namun kita bisa balik bertanya, mengapa jenazah Rasulullah sampai harus ditunda selama 3 hari untuk dimakamkan menunggu terpilihnya Imam yang menggantikannya? Hal ini menunjukkan pada kita pentingnya pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan. Para sahabat jelas tidak sembarangan dalam memilih pemimpin pengganti Rasulullah dan berusaha mencari pemimpin pengganti sebijaksana mungkin sehingga sampai harus menunda penguburan jenazah Rasulullah. Saya bukanlah orang yang tahu banyak mengenai Agama, namun bukankah Islam menganjurkan kita untuk bijaksana dan bertanggungjawab dalam mengambil keputusan. Kita tidak bisa memilih Pemimpin secara sembarangan dan harus penuh pertimbangan dalam mengambil pilihan. Kita ambil contoh calon legislatif partai. Memang diantara sekian banyak calon pasti ada calon yang baik. Tetapi dari mana kita tahu dari sekian banyak calon tersebut mana yang baik dan mana yang buruk. Sebab dari pengalaman maupun fakta yang terjadi sekarang, setiap caleg muncul memperkenalkan diri ke masyarakat hanya pada saat beberapa bulan sebelum pelaksanaan pemilu. Belum lagi pendekatan yang dilakukan oleh para caleg cenderung pasif dan monoton, lebih banyak hanya menyebar pamflet, stiker, kalender, kaos, ataupun baligho yang menampilkan profil dirinya. Dengan waktu yang begitu sempit dan cara yang pasif, bagaimana masyarakat bisa mengenal calon-calon legislatif yang diusung partai tersebut. Dari sepengetahuan penulis, alasannya cukup simple. Hal itu merupakan salah satu rencana dan strategi kampanye mereka agar pada saat pemilihan nanti masyarakat tidak lupa dengan mereka. Alasan yang menggelikan dari seorang yang menganggap dirinya bisa mewakili kepentingan rakyat. Betapa tidak, seorang caleg seharusnya sadar bahwa pemilihan umum merupakan bentuk komitmen dari masyarakat terhadap visi misi yang ia bawa, bukan karena alasan tahu atau tidak tahu.
Menarik memang melihat fenomena pemilu sekarang -khususnya untuk pemilihan legislatif- dimana ditengah euforia demokrasi yang ditandai dengan banyaknya partai yang ikut dalam pemilu justru validitas dari hasil pemilu itu sendiri menjadi patut untuk dipertanyakan. Mengapa? Fakta yang ada di lapangan, khususnya dikalangan grass root atau masyarakat awam, sebenarnya banyak yang tidak tahu mengenai caleg-caleg yang ada dan bingung untuk memilih begitu banyaknya caleg yang diusung oleh partai yang juga sangat banyak. Persis seperti slogan iklan dari salah satu produk rokok, “ makin banyak pilihan, makin bingung milihnya”. Hal itu bukanlah sekedar slogan, karena faktanya memang demikian. Bisa dibayangkan ketika pada saat pelaksanaan pemilu, orang-orang tersebut disuguhkan lembaran-lembaran kertas besar yang penuh dengan gambar partai dan nama calon-calon yang diusungnya. Tidak hanya satu, tapi beberapa lembar kertas pemilu untuk beberapa peruntukkan, yaitu DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/ Kabupaten yang jelas makin membingungkan mereka. Walaupun dengan berlakunya sistem suara terbanyak, banyak partai mengklaim bahwa para caleg-nya merupakan tokoh yang dikenal di daerah pemilihannya. Namun cukup layakkah mereka untuk dipilih. Masyarakat sudah cukup cerdas untuk menimbang kualitas dari para caleg, mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika masyarakat memilih untuk tidak memilih karena alasan ketidaktahuan, tahu, atau justru kedua-duanya, maka layakkah pilihan untuk tidak memilih DIHARAMKAN ? Jika fatwa tersebut terus dipertahankan dan masyarakat terpaksa memilih walaupun hati nuraninya menolak, maka yang terjadi adalah pilihan yang tidak beralasan.
Jika faktanya demikian, maka perlu kita pertanyakan lebih lanjut asumsi dari beberapa kalangan politisi di negara kita, apakah fatwa ini benar-benar muncul dari pemikiran para ulama ataukah hanya sekedar pesanan dari partai yang ketakutan sebab dalam pemilu 2004 partai GolPut merupakan partai pemenang? Saya tidak mau berasumsi, anda bisa menafsirkan sendiri lebih lanjut. Yang jelas, janganlah nilai-nilai agama masuk terlalu dalam pada teritorial politik yang penuh dengan kepentingan, sebab dapat disalahtafsirkan dan dimanfaatkan demi kepentingan salah satu kelompok sehingga substansi dari nilai tersebut menjadi bias dan nilai sakral dari ajaran tersebut pun menjadi kelihatan murah. Kita sebagai umat Islam tentu tidak mau hal ini terjadi.
Fenomena Golput seharusnya bisa ditanggapi lebih bijak oleh pemerintah maupun para anggota dewan. Mereka harus introspeksi diri kenapa fenomena ini marak terjadi. Bukan malah mengambil jalan pintas untuk melarang hal itu secara represif. Karena selain alasan yang telah dijelaskan di atas, fenomena ini juga muncul karena masyarakat sudah lelah menunggu janji-janji manis para wakil rakyat ketika kampanye tak kunjung datang. Gaung politik yang pro rakyat ketika kampanye berubah arah ketika pemilu selesai. Para caleg yang menang sibuk mempertebal kantong pribadi. Partai berhibernasi selama 4 tahun ke depan dan mulai bangun keluar 1 tahun menjelang pemilu berikutnya. Selama masa tersebut, partai lebih banyak berkutat pada masalah intern partai, bukan malah menjadi infrastruktur politik yang menjembatani antara wakil rakyat di dewan dengan para konstituennya di daerah. Belum lagi banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Hal inilah yang menimbulkan sikap skeptis dari masyarakat terhadap pemilu di Negara kita. Harusnya hal ini menjadi bahan introspeksi diri dari partai untuk lebih selektif dalam mencalonkan caleg dan merevitalisasi perannya sebagai infrastruktu politik yang menjembatani kepentingan rakyat. Masa 5 tahun setelah pemilu harusnya bisa menjadi ajang kader partai untuk terjun ke masyarakat dan menampung aspirasi masyarakat untuk kemudian disampaikan kepada wakil konstituen tersebut yang duduk di dewan. Dengan begitu partai bisa mengetahui siapa kadernya yang dekat dengan masyarakat dan mempunyai kontribusi dan komitmen yang kuat terhadap kepentingan publik. Dengan begitu, ketika pencalonan masyarakat sudah kenal dengan caleg di daerah pilihannya dan tingkat pemilih yang memilih golput dapat diminimalisir.
Bukanlah maksud saya untuk mengajak pembaca bersama-sama memilih Golput di pemilu nanti. Sebab untuk memilih Golput kita juga harus mempunyai alasan yang kuat kenapa memilih untuk tidak memilih. Keputusan tersebut tidak dapat hanya didasarkan pada sebuah asumsi subyektif, tetapi harus berdasarkan fakta yang kita cari kebenarannya. Karena ini merupakan suatu kewajiban, maka apa yang dilakukan maupun apa yang tidak dilakukan harus dapat kita pertanggungjawabkan. Sebab ini semua tergantung dari pribadi masing-masing. Jika ada diantara para calon yang dianggap mampu untuk mewakili aspirasi anda, maka gunakanlah hak suara anda untuk memilihnya karena jika anda tidak menggunakan hak suara anda, maka anda telah melanggar kewajiban anda sebagai warga negara, termasuk kita kaum muslimin. Begitu juga sebaliknya. Karena keputusan anda untuk memilih ataupun tidak memilih sangat menentukan nasib bangsa ini ke depan.